Selasa, 02 Februari 2010

THE SEARCH FOR GOD THROUGH ART GROUP EXPRESSION

A cultural event initiated by the Jakarta Art Movement (JAM) conveys themes of spiritualism in an urban community

Text by Bambang Asrini Widjanarko

Man and The Racing

This February, the Jakarta Art Movement (JAM), an art community initiated by groups of artists and curators in Jakarta, is cooperating with the Indonesian National Gallery to present an art exhibit entitled “The Second God”, which will also feature a seminar and workshop.

The JAM community, which comprises 15 groups and over a hundred individuals, consists of painters, sculptors, architects, illustrators, installation artists, graphic artists, photographers, film makers, video artists, fashion designers, interior designers, and digital graphic artists from Jakarta, Bogor and Tangerang.

Some of the members also work in the formal sector as executives, accountants, secretaries, or in other jobs not directly associated with art. Through group dynamics and interaction with the curators who presented the exhibition topic, they discussed and responded to the topic. The final output was produced by the artist groups, in a wide variety of forms.

The topics in this exhibition depart from issues in urban society - idols in the urban world and the quest for God, categorized into three zones, each packaged in a major theme - “The Second God”; “Art Today”; and “Technology, Human Identity and Spirituality.”

Welcome To The Abyss.

The artists in JAM uphold the credo that art is open and liberating, multidisciplinary, and diverse. Art works should be produced through an aesthetic built from interaction and dynamics within the group. In creating their works, they respond to, and collaborate with, one another.

For example, consider the artist and architect Ario and the Ario group from Tarumanagara University, and their work entitled “Cyborg Worship”. They chose to enter the first category/ zone in the exhibition, dealing with technology. Ario built a female robot using the approach of creating a sculpture, while robot builders in the group from the Tarumanagara University Robot Laboratory helped with the technical aspect.

They comment cynically through this work by creating a mystical altar for worship of machines and robots as a symbol of humankind’s domination of nature – or is it the machines that are dominating both nature and humankind? This is a very elegantly constructed collaboration.

We also see the Ancol Plus group, consisting of Kadi, Arifin, Aung and Sapon, who also chose to place their group’s expression in the technology zone, with the title “Welcome To The Abyss”. They painted - on the floor of the National Gallery – images of cliffs and gullies, full of technological instruments such as computer machinery and complex chips.

These artists are seeking to convey the criticism that humans nowadays no longer believe that anything is created by nature, but rather that everything is created by humans themselves. This work is unique, because the painting is enormous, 13 meters by 8 meters, and when seen from certain angles it appears to be entirely real. In the West, this type of work is referred to as 3D illusionist painting.

In God We Trust.

Another group, Keiza and Friends, which comprises a fashion designer, a photographer, a video artist, a model, a choreographer and a graphic designer, criticizes human behavior and humanity’s creations in zone B: human identity. They produce clothing designs made from eletronic waste and the trash generated by human consumption, especially plastic and metal, as a special carnival and performance art that raises the issues of humankind and its ambiguity.

In another group we see Tiga De Studio, a collaboration between graphic artist Nanda and Hery, an installation artist, with a work entitled “In God We Trust”. They chose zone C, the search for spirituality in this century. These artists have built giant letters and life-sized dolls, which will be placed in the front courtyard and terrace of the National Gallery.

Meanwhile, the group Tato and Agus present a work entitled “Man and The Racing”, which combines painting, digital photography, video art and sculpture. They believe that humankind has already met its fate of competing with the machines that it has created, and that human civilization is built upon servitude to technology. This work, 12 meters by 5 meters, will be placed in Hall A of the Indonesian National Gallery in the first zone/ category.

This exhibition aims to present new ideas, especially about group expression and the diversity of art. The show is also a cultural statement and reflection on society in Jakarta, with plans to include a seminar featuring experts from diverse fields such as doctors of information technology, experts on art in urban zones, doctors of sociology and philosophy, practitioners of spiritual paths and students of religious practices in urban society.


http://garudamagazine.com/features.php?id=165

Selasa, 26 Januari 2010

RENCANA PAMERAN

Tajuk pameran

Pameran mengangkat tajuk “The Second God; Teknologi, Kemanusiaan, dan Spiritualisme.” Tema ini mencerminkan kritik lewat bahasa seni rupa terhadap fenomena munculnya “Tuhan-tuhan” baru yang diberhalakan dalam kebudayaan kontemporer, terutama teknologi, manusia, dan spiritualitas. 

Dalam pameran, karya-karya dikelompokkan dalam tiga zona tema: Zona Teknologi & Ilmu Pengetahuan, Zona Identitas Tubuh dan Diri Manusia, serta Zona Spiritualisme Baru.

Tempat dan waktu

Pameran akan dilaksanakan di Galeri Nasional, Jalan Merdeka Timur No 14, Jakarta 10110, 21-28 Februari 2010. Tempat ini merepresentasikan galeri yang punya tempat terhormat dalam peta seni rupa di Indonesia.

Peserta Pameran

Kelompok 3D Studio, Aryo and Tarumanegara, Ex-Serrut, SEXI, Kalatida, Begoendal, Kama Art, Ancol, Tato, Kebun Raya Bogor, Fakebook, Kezia Plus, Askes, Iluminasi, Nasya, dan Kelompok Mataair.

Komunitas ini punya beragam latar belakang: seniman, pematung, pelukis, desainer, programmer televisi, arsitek, kaligrafer, perancang busana, pembuat film, wartawan, fotografer, pembuat robot, dan masyarakat umum. Komunitas ini tinggal di Jakarta dan sekitarnya (Bogor, Depok, Tangerang, Tangerang Selatan).

Audiens

Pameran gratis dan terbuka untuk khalayak luas. Audiensnya adalah masyarakat umum, para pelajar dan mahasiswa, dan khususnya seniman serta penikmat seni rupa di Jakarta dan sekitarnya. 

KEGIATAN PENDUKUNG

I. DISKUSI

Tempat: Gedung B, Galeri Nasional, Jakarta
Waktu: Pukul 13.00-15.30, 22 Februari 2010

Tema: Seni Rupa Hari Ini: Antara Teknologi-Ilmu pengetahuan, Kemanusiaan, Spiritualisme.

Pembicara:
Dr. Yasraf Amir Piliang (pengamat seni-budaya kontemporer)
Dr. Ono W Purbo (ahli teknologi dan komunikasi)
Dr Bambang Sugiharto (pemikir filsafat)
Budhy Munawar Rachman (pemikir Islam)
Moderator: Bambang Asrini Widjanarko

II. WORKSHOP

1. Workshop Pembuatan Robot
Tempat: Gedung B, Galeri Nasional, Jakarta
Waktu: 10.00-12.00, 23 Februari 2010
Pembicara:
1. Dekan Fakultas teknik, Universitas Tarumanegara, Ir Najib
2. Seniman pembuat robot, Ario Hendrasto
Pembawa Acara: Imam Muhtarom

2. Workshop Body Painting
Tempat: Gedung B, Galeri Nasional, Jakarta
Waktu: Waktu: 10.00-12.00, 23 Februari 2010
Pembicara:
1. Wardah Kosmetik
2. Seniman Kezia
Pembawa acara: Tomy F. Alim

TIM KURATOR JAM

1. Bambang Asrini Widjanarko (penulis seni di Majalah Penerbangan Garuda)
2. Ilham Khoiri (wartawan seni-budaya harian Kompas)
3. Seno Joko Suyono (wartawan seni Majalah Tempo)
4. Imam Muhtarom (penulis seni dan sastra)

KELOMPOK JAM

Komunitas ini terdiri dari 16 kelompok kreatif yang berisi sekitar 100-an orang: kelompok 3D Studio, Aryo and Tarumanegara, Ex-Serrut, SEXI, Kalatida, Begoendal, Kama Art, Ancol, Tato, Kebun Raya Bogor, Fakebook, Kezia Plus, Askes, Iluminasi, Nasya, dan Kelompok Mataair.

Komunitas ini punya beragam latar belakang: seniman, pematung, pelukis, desainer, programmer televisi, arsitek, kaligrafer, perancang busana, pembuat film, wartawan, fotografer, pembuat robot, dan masyarakat umum. Komunitas ini tinggal di Jakarta dan sekitarnya (Bogor, Depok, Tangerang, Tangerang Selatan).

LATAR BELAKANG

Dilema Budaya Kontemporer 

Pertumbuhan dunia belakangan ini mendorong manusia memasuki kehidupan global yang luar biasa. Kita semakin mudah mendapatkan berbagai penemuan ilmiah, berinteraksi dengan manusia sejagad, serta membangun pasar internasional. Semua pencapaian itu tak lepas dari budi daya manusia untuk mempercanggih ilmu pengetahuan dan teknologi, jaringan komunikasi, dan perdagangan bebas. 
 Hanya saja, sebagaimana semakin disadari banyak kalangan, pencapaian kehidupan global sekarang ini juga memendam berbagai persoalan. Manusia terpukau pada kegemilangan hasil kerja kerasnya, dan mencoba menggantungkan hidup (bahkan sikapnya bisa dibilang mirip memper-Tuhan-kan) pencapaian akal budinya itu. Namun, saat bersamaan, samar-samar manusia juga menyadari adanya kerawanan atau semacam kerapuhan dalam pilihan-pilihan kehidupan sekarang ini. 
Salah satu bentuk penuhanan itu muncul pada ranah ilmu pengetahuan dan teknologi. Teknologi dianggap sebagai solusi andal untuk memecahkan berbagai persoalan. Teknologi dipercaya mampu menciptakan “manusia adi kodrati” dan menggantikan seluruh fungsi dan peran manusia, bahkan pada tingkat kesadaran yang seutuhnya (human consciousness). 
Namun, muncul juga pertanyaan: apakah ilmu pengetahuan dan tekhnologi memang telah benar-benar “mengalahkan” eksistensi manusia? Adakah mesin menjadi “Tuhan Baru” yang menggantikan kekuatan fisik dan rasio manusia?
Penuhanan lain hadir dalam bentuk pemujaan manusia atas dirinya sendiri. Manusia semakin yakin dengan keindahan fisik dan kepiawaian akal budinya sebagai solusi atas semua persoalan, bahkan mengalahkan alam semesta. Berbagai produk industri hiburan dewasa ini—seperti pusat perbelanjaan, film, fashion, televisi, media cetak, internet, atau radio—menempatkan manusia sebagai pusat dari kebudayaan dunia, bahkan dijunjung tinggi setingkat Tuhan. Pemujaan ini terkadang bersifat sangat dangkal, katakanlah seperti pencitraan tubuh seksi sebagai kurus-semampai yang dikejar-kejar semua kaum muda di seantereo jagad.  
Pada sisi lain, sebagian manusia semakin gelisah: benarkah manusia adalah pusat dari segalanya? Apakah kedirian manusia hanya diwakili citra tubuh yang permukaan? Lalu, di mana nilai-nilai kemanusiaan yang lebih dalam dan secara alami menempatkan manusia sebagai sosok yang kompleks yang kuat sekaligus lemah? 
Gejala serupa juga terjadi dalam dunia spiritual. Manusia-manusia urban dengan jumawa sering mengatakan, rahasia terpenting abad 20 adalah ketika mereka mampu menaklukkan alam dengan akal dan pikirannya, mengeksplorasinya dan bertahta atas nama modernisme yang telah melahirkan kebahagiaan sejati! Modernitas yang memuja akal budi dianggap cukup untuk memenuhi segala kebutuhan material dan spiritual manusia. 
Tapi benarkah? Banyak yang ragu. Kegagalan demi kegagalan budaya manusia abad 21 berangsur-angsur menyembulkan kesadaran: kebahagian sejati justru bersemayam dalam wujud paling hakiki pada jiwa manusia, bukan semata pada rasio. Pada akhirnya, manusia semakin terdorong untuk menggali dan mengembangkan budi, kebajikan, dan nilai-nilai spiritual lain. Kita bisa ambil contoh pada menguatnya fundamentalisme agama formal sekaligus hadirnya nabi-nabi palsu dari sekte baru. 
Paradoks kehidupan manusia dan kerapuhan kehidupan dunia inilah yang menjadi kegelisahan komunitas kreatif di Jakarta, ibukota Indonesia, yang tergabung dalam Jakarta Art Movement (JAM). Kegelisahan itu diwujudkan lewat pameran seni rupa bersama dengan memanfaatkan beragam media. 
  



MANIFESTO

  1. Pada dasarnya setiap orang adalah seniman, seperti diktum seniman Jerman, Joseph Beuys: everyone is an artist. Setiap individu, apaapun latar belakangnya, bisa membuat karya seni rupa.
  2. Seni terbuka dan membebaskan, lintas disiplin, dan bisa didekati dengan cara beragam. Karya seni diproduksi dengan estetika yang dibangun dari interaksi dan dinamika kelompok.
  3. Karya seni berangkat dan merespon problem-problem masyarakat dengan itikad menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, multikulturalisme, toleransi, dan demokrasi.